Konflik Komunikasi

Konflik Komunikasi

Konflik seringkali dipahami dengan sangat sederhana. Banyak orang memahami konflik semata-mata dalam kaitannya dengan pertengkaran atau peperangan saja. Padahal, konflik memiliki makna yang lebih kompleks. Banyak konflik-konflik yang bersifat laten (tersembunyi) dan tidak melibatkan pertengkaran atau perang terbuka. Sebaliknya ada pertempuran terbuka yang sebenarnya tidak bisa dimaknai sebagai konflik, seperti misalnya pertandingan gulat atau tinju.

Namun bila dikaitkan dengan suatu konflik komunikasi, makna dari konflik sendiri akan lebih mengkerucut. Tidak lagi berbicara mengenai pandangan umum melainkan sudah berbicara dalam bidang komunikasi. Artinya kita tidak akan lagi berbicara mengenai konflik sosiologis, psikologis, politik, dan yang lainnya.

Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sedangkan pengertian dari komunikasi sendiri dilihat dari para ahli komunikasi ialah :
a. Everet M. Rogers:
    ”Proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih,  dengan maksud untuk mengubah tingkah laku”
b. Josep A. Devito
    “Suatu pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain atau sekelompok kecil orang dengan beberapa efek dan umpan balik langsung.”
c. Bernard dan Gery
    ”Transmisi, gagasan. Emosi, keterampilan, dsb, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, dsb. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasa disebut komunikasi.”

Konflik komunikasi ialah suatu perbedaan bahasa atau makna yang terjadi antara komunikator dengan komunikan dalam menyampaikan sebuah message (pesan). Karena suatu komunikasi akan berjalan efektif (tidak akan melahirkan sebuah konflik) bila terdapat suatu kesamaan makna dan bahasa. Bila demikian dapat kita artikan bahwa konflik komunikasi itu sama dengan hambatan komunikasi. Karena sama-sama diawali oleh ketidaksamaan akan suatu bahasa dan makna.

Dalam berkomunikasi biasanya seseorang akan menemui berbagai macam hambatan yang jika tidak dapat ditanggapi dan disikapi secara tepat akan membuat proses komunikasi yang terjadi menjadi sia-sia karena pesan tidak akan tersampaikan atau yang sering terjadi adalah terjadinya penyimpangan. Adapun hal-hal yang sering terjadi adalah karena ketidakmampuan seorang penyampai pesan dalam hal sebagai berikut :
1. Berkomunikasi sesuai tingkatan bahasa para pendengarnya.
    Misalnya, seorang pedagang makanan yang hanya lulusan SMP tentu akan kesulitan untuk memahami pembicaraan seorang sarjana teknik yang berbicara menggunakan istilah-istilah tekniknya.
2. Mengerti keinginan arah pembicaraan dari para pendengarnya.
    Sekelompok pelajar tentunya wajar jika tidak tertarik pada pembicaraan mengenai permasalahan bagaimana merawat dan mendidik balita yang disampaikan oleh seorang ibu rumah tangga.
3. Mengerti kelas sosial para pendengarnya.
    Sekelompok petani di desa tentu tidak mengerti dan tidak tertarik pada pembicaraan seorang pialang mengenai perdagangan saham.
 4. Memahami latar belakang serta nilai-nilai yang dipegang teguh para pendengarnya.
     Seorang ahli presentasipun akan sangat kesulitan menembus dan merubah kekerasan  kepalaan pendapat dari seorang individu atau kelompok masyarakat yang mengkonsumsi makanan pokok nasi menjadi gandum, kentang atau lainnya walaupun didukung “bukti-bukti dan alasan yang kuat dan benar.

HAMBATAN PROSES KOMUNIKASI
Tentu tidaklah mudah untuk membuat sebuah komunikasi berjalan dengan menghasilkan kesepakatan secara utuh sesuai tujuannya. Karena, salah satu prinsip dalam berkomunikasi, yaitu terdapatnya kesulitan-kesulitan pokok dalam mencapai tujuan. Kesulitan-kesulitan internal ini merupakan hal yang biasa dialami oleh penyampai ide maupun penerimanya.
Tujuan daripada proses komunikasi diantaranya adalah :
1. Mendengar, kesulitannya :
    – Penerima pesan sulit memusatkan perhatian baik pada kata yang tertulis maupun  terucap untuk waktu yang lama.
    – Penerima pesan  kurang memiliki perhatian pada apa yang bagi mereka tampak kurang penting.
2. Memahami, kesulitannya :
    – Penerima pesan memiliki asumsi berdasarkan pengalaman masa lalunya.
    – Penerima pesan sering tidak memahami jenis bahasa yang dipakai pembicara.
    – Penerima pesan lebih mudah salah mengerti saat mereka mendengar tanpa melihat.
    – Penerima pesan sering sudah menarik kesimpulan padahal kita belum selesai bicara.
3. Menyetujui, kesulitannya :
    – Penerima pesan sering merasa curiga terhadap orang lain yang sedang sedang membujuk mereka
    – Penerima pesan tidak suka jika dibuktikan bersalah. 
4. Bertindak, kesulitannya :
    – Tidak mudah bagi banyak orang untuk mengubah kebiasaan mereka.
    – Penerima pesan merasa takut akan akibat dari pengambilan tindakan yang keliru.
    – Banyak orang tidak suka mengambil keputusan.
5. Umpan balik, kesulitannya :
    – Beberapa orang sering dengan sengaja menyembunyikan reaksi dan apa yang sesungguhnya mereka pikirkan.
    

PERENCANAAN KOMUNIKASI
Pada proses perencanaan komunikasi, dampak ataupun akibat yang dihasilkan sangat bergantung pada ke-empat elemen perencanaan. Dalam proses perencanaan tersebut, peran komunikasi merupakan ketrampilan penting yang harus dimiliki umumnya oleh para manager. Karenanya dapat dikatakan pula bahwa perencanaan komunikasi meliputi fungsi-fungsi manajemen , yaitu :
1.      Merencanakan (Planning).
2.      Mengadakan (Organizing).
3.      Mengutamakan (Leading).
4.      Mengawasi (Controlling).
Adapun 4 (empat) elemen utama Perencanaan, yaitu :
1.      Tujuan (Objective)
         Kondisi masa depan yang akan dicapai.
2.      Aksi (Action)
         Serangkaian kegiatan yang yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
3.      Sumber Daya (Resouces)
         Hal-hal yang dibutuhkan dalam melaksakan aksi.
4.      Pelaksanaan (Implementation)
         Tata cara dan arah pelaksanaan kegiatan.
Elemen-elemen yang terdapat dalam komunikasi adalah:
      * Komunikator            : orang yang menyampaikan pesan
      * Pesan                      : ide atau informasi yang disampaikan
      * Media                     : sarana komunikasi
      * Komunikan               : audience atau pihak yang menerima pesan
      * Umpan Balik            : respon dari komunikan terhadap pesan yang diterimanya
 
Dalam kehidupan nyata mungkin ada yang menyampaikan pesan atau ide (encoding) yang merupakan hasil pengolahan ide (stimulus) berdasarkan kesan (perception) dan penerjemahan (interpretation) si penyampai, ada yang menerima atau mendengarkan pesan; ada pesan itu sendiri; ada media (transmission through a channel) dan tentu ada respon berupa tanggapan terhadap pesan (feedback). 
Untuk menunjang keberhasilan perencanaan komunikasi dapat dilihat Kesan (perception) sebagai inti dari komunikasi. Kesan adalah nuansa rasa manusia kepada obyek tertentu. Kita terkesan, karena ada sesuatu yang menarik dari obyek tersebut. Obyek tersebut bisa berupa barang atau orang. Kita bisa terkesan kepada orang karena bermacam-macam hal; bisa karena wajahnya, misalnya canti, tampan, atau berkumis; bisa karena kata-katanya, karena janjinya, dan sebagainya. Membuat kesan yang baik, berarti kita harus berbuat dan bersikap tertentu yang membuat agar orang lain dapat tertarik pula. Dapat dikatakan bahwa kesan/persepsi merupakan inti dari komunikasi.

Perlu juga diperhatikan 5 (lima) sasaran pokok dalam proses komunikasi, yaitu:
1.      Membuat pendengar mendengarkan apa yang kita katakan (atau melihat apa yang kita tunjukkan kepada mereka).
2.      Membuat pendengar memahami apa yang mereka dengar atau lihat
3.      Membuat pendengar menyetujui apa yang telah mereka dengar (atau tidak menyetujui apa yang kita katakan, tetapi dengan pemahaman yang benar)
4.      Membuat pendengar mengambil tindakan yang sesuai dengan maksud kita dan maksud kita bisa diterima oleh mereka.
5.      Memperoleh umpan balik dari pendengar.
Di samping itu, masih ada faktor lain yang juga penting dalam proses komunikasi, yakni: gangguan (noise) baik dari sumber eksternal (media / saluran komunikasi) maupun internal (psikologis) yang dapat mengganggu atau menghambat kelancaran proses komunikasi.

Konflik komunikasi sendiri akan timbul bila tidak adanya kesamaan makna dan bahasa. Perbedaan itu secara tidak langsung akan mengakibatkan miss communication yaitu kesalahan dalam mengkomunikasikan informasi. Atau lebih parahnya akan mengakibatkan kesalahan dalam menginterpretasi (miss interpretation). Hambatan utama dalam komunikasi antar manusia adalah kecenderungan dasar untuk menilai, untuk menyetujui atau menolak, pernyataan orang lain atau kelompok.
Mengatasi hambatan komunikasi berarti memperbaiki proses komunikasi baik yang ditimbulkan oleh komunikator, komunikan maupun diluar dari keduanya tersebut, (Carl Rogers, 1961).

Dalam mengatasi hal ini komunikator harus memahami dan mengenal karakteristik komunikannya sebelum melancarkan komunikasi. Dengan memahami dan mengenal komunikannya maka akan mengenal pada kebudayaannya, gaya hidup, dan norma kehidupan, kebiasaan dan bahasanya.
Demikian juga komunikan harus menghilangkan prasangka pada komunikator. Sebab apabila prasangka komunikan yang biasanya bersifat buruk itu tetap melekat pada diri komunikan, sebaik apapun isi pesan tersebut disampaikan oleh komunikator, tetap tidak ada artinya bagi komunikan.
Menurut Dr. Robby I. Chandra dalam bukunya yang berjudul “Konflik dalam Hidup Sehari-hari”, langkah pertama di dalam pelaksanaan penanganan konflik ialah penyelenggaraan dan pengendalian cara berkomunikasi. Yang sepatutnya dituju dan dihasilkan oleh kedua pihak yang berkonflik adalah menggunakan ‘descriptive speech’, atau penggunaan cara komunikasi yang lebih menggambarkan kenyataan daripada yang memberikan penilaian. Salah satu sifat descriptive speech ialah cenderung memperkecil ketidakpastian.
Sebagai penjelasannya, Carl Rogers berpendapat bahwa tiap orang cenderung untuk menghakimi dan menilai orang lain. Karena itu setiap orang mudah membangun rintangan terhadap komunikasi yang efektif. Dengan demikian kita perlu menyadari bahwa bila kita bermaksud menangani konflik dengan baik, kita harus memilih kata-kata dan susunan kalimat secara terencana.

Strategi untuk menjalankan hal tersebut bertumpu pada faktor-faktor di bawah ini:
1.      Mengakui pendapat dan perspektif diri sendiri.
2.      Menyampaikan topik masalah dengan jelas dan rinci.
3.      Memperhatikan dan mengendalikan semantic.
4.      Memperhatikan rintangan semantic.
5.      Memperhatikan pemilihan sintaks.
 
1. Mengakui pendapat dan perspektif diri sendiri.
    Seringkali di dalam proses konflik, salah satu pihak berbicara dan menyampaikan   pendapat seakan-akan mewakili orang lain. Misalnya: “Maaf ya, Pak. Seluruh karyawan di pabrik ini tidak bisa menerima cara wakil Bapak memimpin kami.” Pernyataan serupa itu atau suatu pernyataan yang disampaikan dengan cara serupa itu akan segera memancing sikap bertahan dari lawan bicaranya. Orang akan segera merasa diserang oleh banyak orang, karenanya ia harus mempertahankan diri. Cara yang lebih baik adalah, “Maaf Pak, bila Bapak tidak berkeberatan saya ingin menyampaikan bahwa pada hemat saya kepemimpinan wakil Bapak tidak bisa diterima oleh rekan-rekan saya dan saya sendiri.” Tentunya, respons dari pihak lain tetap dapat merupakan suatu respons yang bersifat negatif. Namun sekurang- kurangnya suatu ketidakpastian telah dikurangi dengan pernyataan yang jujur dan terbuka seperti itu.
 
2. Menyampaikan topik masalah dengan jelas dan rinci.
    Di dalam membicarakan suatu masalah atau topik seringkali orang- orang terjebak ke dalam generalisasi- generalisasi. Mereka sudah memahami apa yang mereka maksudkan, namun lalai menyadari bahwa orang lain mungkin hanya memahami sebagian kecil dari pemaparan mereka karena generalisasi tersebut. Contohnya: Seorang direktur bertanya, “Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan baik?” Yang tidak jelas dari pertanyaan tersebut ialah pengertian ‘ditangani dengan baik’ yang digunakan oleh seorang direktur.
Walaupun budaya atau situasi politik Indonesia di masa lalu seakan- akan menuntut orang untuk berbicara sesamar mungkin, namun dari sudut penyelesaian konflik, pernyataan atau situasi yang dapat ditafsirkan ke segala arah akan memperbesar kemungkinan timbulnya masalah-masalah lain. Hal ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk menafsirkan hal-hal yang tidak diketahui secara negatif. Dengan demikian sebaiknya kalimat “Masalah yang pelik tersebut ….” direvisi menjadi “Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan cepat sebelum akhir bulan ?” atau “Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan memberhentikan kasir itu?” Revisi serupa itu menolong untuk membuat komunikasi seorang ditektur dapat dipahami dengan rinci sehingga mencegah kesalah-pahaman.
 

3. Memperhatikan dan mengendalikan semantic.
    Masalah pemilihan kata di dalam suatu komunikasi akan menentukan suatu penyelesaian konflik. Pemilihan kata pada dasarnya mengungkapkan pikiran kita, bahkan cara kita memahami lingkungan sekitar. Suatu contoh dari pengungkapan itu nyata ketika di dalam suatu penanganan konflik dipergunakan kalimat-kalimat seperti di bawah ini:
     – Anda mencoba men-torpedo program kami.
     – Anda membabat habis anggaran yang kami usulkan.
     – Saya ingin memusnahkan cara pikir seperti itu.
Dengan mudah kita menangkap, bahwa orang yang menggunakan kalimat- kalimat tersebut memiliki pola pikir yang berorientasi pada “persaingan”, “kekerasan”, dan “penghancuran”. Ia memandang konflik atau kritik sebagai suatu “perang”, sehingga memperlakukannya sedemikian rupa dengan kata-kata dan sikapnya tersebut. Tentu saja, penanganan konflik yang efektif akan sulit dilaksanakan bila pemilihan kata yang terjadi seperti hal tersebut di atas.
 
4. Memperhatikan rintangan semantik
    Selain pemilihan kata, di dalam komunikasi untuk penanganan konflik, perlu juga disadari bahaya penggunaan bahasa pasar / slang / prokem, stereotype dan ungkapan-ungkapan otomatis. Ketika hal itu akan mempertajam pembedaan antara seorang dengan orang lain secara negatif.
    Slang atau bahasa pasar adalah penggunaan istilah-istilah atau cara berbahasa yang digunakan hanya oleh kalangan tertentu. Misalnya: nyokap (ibu), bokap (bapak), mejeng (berdiri menunggu), ngeceng, cabut (pergi). Penggunaan kata serupa itu di dalam suatu komunikasi dapat ditafsirkan bahwa si pembicara memandang rendah lawan bicaranya., sebab tata krama dan sopan santun seakan-akan ditiadakan dengan sengaja. Hal itu lebih terasa bila dilakukan di dalam lingkungan yang resmi.
    Stereotype adalah menyampaikan hal-hal yang diasumsikan sebagai hal yang diterima atau dianut bersama. Stereotype dapat berwujud sebagai stereotype tentang jenis kelamin, ras, agama, atau kelompok tertentu. Misalnya di tengah hangatnya suatu perdebatan mendadak timbul suatu ungkapan, “Saya kira kita tidak ingin mengambil cara berbisnis seperti yang dilakukan oleh Cina.” Ungkapan ini didasarkan oleh suatu asumsi bahwa semua orang mengenal apa itu bisnis gaya Cina. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa semua yang hadir memandang gaya tersebut secara negatif. Dengan mudah kita lihat bahwa suatu bahasa yang penuh dengan stereotype tidak akan pernah memberikan deskripsi yang efektif, namun memberikan penilaian. Bahaya penggunaan stereotype adalahsebagai berikut :
          1. Berasumsi bahwa semua orang sepaham.
          2. Asumsi tersebut tidak lagi diuji benar atau salahnya.
Di samping slang dan stereotype, penggunaan kata-kata ungkapan yang secara otomatis terucap juga sangat menghambat komunikasi di dalam penanganan suatu konflik karena slang tersebut dapat ditafsirkan sebagai adanya kecurigaan atau keraguan. Mehrabian, memeberikan tiga jenis ungkapan otomatis tersebut, yaitu:
 1. Pengisi
 2. Ekor tanya
 3. Istirahat
– Pengisi adalah kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki suatu penggunaan di   dalam isi berita, contohnya:
        > Saya kira, mmm, hal itu harus mmm …
        > Kita harus belajar untuk, Anda tentu paham, survive.
        > Bagaimana juga, gimana ya, kita harus mencapai, gimana ya, sasaran pekerjaan itu.
Kata-kata ini memperkecil keeratan hubungan antara si pembicara dengan berita yang disampaikan sehingga efektivitas dari berita itu berkurang.

– Ekor tanya ialah kata-kata yang diletakkan di akhir kalimat sebagai usaha untuk menularkan pendapat mereka. Hal ini cenderung mengakibatkan persetujuan atau bantahan dari lawan bicara. Walaupun hal ini dapat berguna di dalam suatu komunikasi, dapat juga terjadi bahwa orang yang dipaksa untuk memberi respons merasa terganggu dengan usaha tersebut.

– Hal yang terakhir adalah istirahat. Penggunaan saat hening sebagai istirahat dapat mengganggu karena membuat lawan bicara mendapat kesan bahwa ada topik yang tidak ingin dibicarakan, bahkan disembunyikan, atau ada ketidakpastian yang besar, contoh: “Saya kira … baik juga untuk … kita ….”
Secara umum ketiga hal tersebut membuat munculnya ketidakpastian dan menghasilkan kesan bahwa pada komunikasi tersebut terdapat ketidakjujuran atau hal-hal yang disembunyikan.
 
5. Memperhatikan pemilihan sintaks
    Pemilihan sintaks perlu diperhatikan terutama penggunaan ancaman, humor yang berisi ejekan, atau pertanyaan yang sarkastis.
–  Ancaman.
    Berbagai pernyataan dalam kalimat memperlihatkan aliran gagasan di antara orang.    Salah satu di antaranya ialah penggunaan ancaman. Ancaman tersebut mungkin dilontarkan dalam pernyataan yang jelas dan terbuka, misalnya “Bila Anda tidak memindahkan mobil itu, saya akan membakarnya.” Kerapkali ancaman juga disampaikan secara terselubung. “Perusahaan kami tidak terlalu senang terhadap karyawan-karyawan yang segan melakukan tugas lembur.” Peneliti seperti Gibb atau Hocker dan Wilnet mengamati bahwa suatu ancaman menghasilkan sasaran yang positif, yaitu bahwa ancaman membuat orang mendukung sikap bertahan.
–  Humor yang berisi ejekan dan sarkasme.
   Walaupun ancaman menceritakan perasaan tak enak, namun setidaknya tujuannya jelas. Sebaliknya bila disampaikan humor yang berisi ejekan dan permusuhan, suasana yang dihasilkan lebih sulit diramalkan. Salah satu pihak harus menduga-duga kedalaman unsur negatif di dalam apa yang ia dengar. Namun hasilnya cukup dapat diramalkan, yaitu adanya sesuatu yang segera lenyap di dalam komunikasi, yaitu kejujuran.
–   Pertanyaan yang sarkatis
    Bila seseorang mengucapkan pertanyaan yang merupakan dakwaan, atau usaha mencari kesalahan secara negatif, akibat yang ditimbulkan ialah sikap defensif. Contohnya, “Apakah Anda tidak mau memikirkan orang lain dan sering bertindak semau diri sendiri?” Pertanyaan serupa ini dengan mudah memancing jawab yang sejenis, “Cuma orang tolol yang bertindak semau saya. Atau mungkin pertanyaan itu sendiri adalah pertanyaan yang tolol!”. Pertanyaan yang berisi penilaian negatif dan sarkastis sering merupakan alat tercepat yang berakibat konflik menjadi lebih luas.

SUMBER / DAFTAR PUSTAKA

http://www.sabda.org

http://izlend.wordpress.com artikel di tag pada 26 Maret 2009 (Konflik,Komunikasi, dan Solusinya)

http://srimasithah.blogspot.com artjel di tag pada Mei 2008 (Hambatan Komunikasi)

http://www.colorado.edu

http://www.lutfifauzan.wordpress.com artikel di tag pada 25 Nov 2009 (Konflik Komunikasi)

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to comments via RSS Feed

Laman

Kategori

Tautan

Meta

Kalender

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Most Recent Posts